EpisodeKembali Ke Tanah Jawa (6 episode) 120. Kembali Ke Tanah Jawa 121. Tiga Makam Setan 122. Roh Dalam Keraton 123. Episode Dewi Dua Musim/Masih Petualangan Wiro Sableng di Bhumi Mataram (Terhenti Saat Baru 2 Episode) 184. Dewi Dua Musim 185. Dan kepada para penggemar Cerita Silat Wiro Sableng pendekar kapak maut naga geni 212. CeritaSilat Tanah Jawa. Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo) Serial Keris Pusaka Megatantra : 1. Keris Pusaka Sang Megatantra (Tamat) 2. Mencari Bende Mataram, Jilid : 01-10, 11-19 Tamat. SAINI K.M. Pangeran Anggadipati Raden Banyak Sumba Pertarungan Terakhir. CeritaSilat Jawa " BENDE Mataram ", SEMARANG. 778 likes. Cerita silat favorit taun 1965 an SHMintardja adalah pengarang cerita silat Indonesia (Jawa) terbesar, yang mengarang banyak cerita silat, salah satunya memegang rekor kisah 'terpanjang', yakni 'Api Di Bukit Menoreh'. Buku tersebut dikarang selama 32 tahun (terbit 1 per bulan) sejak 1967. Ketika beliau tutup usia di tahun 1999, 'Api' sudah mencapai 4 episode, 396 jilid. SH. Mintardja atau Singgih Hadi Mintardja adalah pelopor penulis cerita silat. Sebelumnya, cerita silat bernuansa Cina telah lama populer di masyarakat, baik yang merupakan hasil terjemahan literatur cina oleh O.K.T (Oey Kim Tiang) dan Gan Kok Liang a.k.a. Gan K.L. ataupun hasil karya original seperti oleh Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo . Ia meninggal pada umur 66 dalam tahun 1999 BanjirDarah di Borobudur Jilid 01. 9 minute read. Kisah ini terjadi pada waktu agama Hindu dan Agama Budha berkembang luas, dan berpengaruh serta berkuasa di pulau jawa. Seribu tahun lebih yang lalu kedua agama ini yang datangnya dari India, membawa kebudayaan yang tinggi kepada rakyat di Pulau Jawa. Betapapun besar dan hebat pengaruh agama KhoPing Hoo. Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho, Hanzi: 許平和; pinyin: Xǔ Pínghé, 17 Agustus 1926 - 22 Juli 1994) adalah penulis cersil ( cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa CeritaSilat Jawa, ASAL USUL BENDE MATARAM Bagian 03. Pencaksilat merupakan seni bela diri tradisional yang berasal dari Indonesia. Sejarah pencak silat berawal sejak abad ke-7 Masehi. Ketika ilmu bela diri ini mulai menyebar di nusantara. Meski begitu asal muasal pencak silat sendiri masih belum ditentukan dengan pasti. Disadur dari wawancara dengan Eddie Marzuki Nalapraya, disebutkan pencak silat berasal dari dua [] MataramKuno Sejarah Kerajaan Majapahit Hingga Runtuh KUMPULAN CERITA CERITA SILAT CINA. Sejarah 1 / 8. April 30th, 2018 - Kerajaan Majapahit Adalah Kerajaan Hindu Di Jawa Timur Kerajaan Ini Termasuk Kerajaan Kuno Di Indonesia Yang Berdiri Pada Tahun 1293 Hingga 1500 M Kerajaan Majapahit Didirikan Oleh Raden Wijaya 1293 M' TDM05 ~ Cerita Silat Jawa/Novel Sejarah/Demak/Mataram Beranda TDM 05 Ketika cahaya fajar menyembul di ufuk timur, rombongan prajurit itu pun turun ke tepian sungai. Seperti yang mereka rencanakan, pagi itu mereka akan menyeberangi sungai Praga menuju alas Mentaok. CERITASILAT INDONESIA HERMAN PRATIKTO SERI BENDE MATARAM + 4 KISAH di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. buku sejarah Mataram Islam berbahasa Jawa. Rp 15.000. Cashback. Kab. Gresik TokoBukuMurahGresik (2) Awal Kebangkitan Mataram dan Kerajaan Islam Pertama Di Jawa. Rp 192.000. Cashback. EEUH. Agung Sedayu Terpedaya Terdengar kicauan burung-burung liar di pepohonan yang tumbuh di belakang pekarangan sebuah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Langit yang cerah menjadikan hamparan pemandangan yang berada lereng Merapi begitu indah. Sesekali pedati melintasi jalan yang terjulur di bagian depan rumah keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi pagi itu, keadaan sekitar rumah dan lingkungan tetangga nampak sepi.“Apakah kau tidak melihat keadaan barak, Kakang?” tanya Sekar Sedayu menggelengkan kepala dan katanya, ”Aku telah meminta Sukra untuk pergi ke sana dan menemui Ki Lurah Sanggabaya. Aku katakan jika aku akan menyusulnya setelah matahari sedikit lingsir ke barat.”Sekar Mirah mengangguk menuangkan wedang sere ke dalam mangkok suaminya. Ki Rangga Agung Sedayu menggeser tempat duduknya dan diraihnya kedua tangan Sekar Mirah. Ia mendesis pelan, ”Bagaimana menurutmu jika kita pergi ke Jati Anom?” “Menurutku itu gagasan yang baik setelah peristiwa yang melibatkan Perguruan Kedung Jati. Lagipula kita lama tidak melihat keadaan Paman Widura dan mungkin kita dapat singgah sejenak di Sangkal Putung,” kata Sekar Mirah lalu, ”saya ingin melihat anak Kakang Swandaru.” Sejenak ia memandangi suaminya yang belum nampak keriput di wajahnya meskipun satu dua helai rambut berwarna putih mulai menghiasi kepala Agung Sedayu. “Baiklah,” Agung Sedayu berkata. Kemudian, ”Aku akan memberi tahu Ki Gede tentang rencana kepergian kita lalu beberapa pesan akan aku berikan pada Ki Lurah Sanggabaya.” Ia bangkit lalu melangkah masuk untuk berbenah diri. Tak lama kemudian Sekar Mirah mengikutinya dari belakang. Namun Sekar Mirah adalah wanita yang telah menerima gemblengan dari Ki Sumangkar sehingga pendengarannya dapat menangkap desir halus yang mendekatinya. Ia berhenti lalu memutar pandangannya. Tiba-tiba seorang melayang tinggi melewati regol halaman rumah Agung Sedayu dan berdiri sambil bertolak pinggang di tengah-tengah halaman.“Apakah ini rumah Agung Sedayu?” lelaki itu bertanya dengan ketus. Sementara itu Agung Sedayu yang baru saja melintasi pringgitan segera melesat keluar. “Ki Sanak mengejutkan kami,” kata Agung Sedayu sebelum Sekar Mirah sempat berkata-kata. Orang itu tertawa. Katanya,”Aku perlu berbicara denganmu.” Ia melirik Sekar Mirah dan sambil menudingkan jari telunjuk,”Hei, kau dapat meninggalkan kami berdua.” Meskipun Sekar Mirah adalah perempuan yang berusia masak dan mempunyai pengalaman yang luas, namun ia tersinggung karena sikap kasar lelaki yang berdiri di tengah halaman rumahnya.“Jaga bicaramu, Ki Sanak! Kau tidak akan dapat berjalan seperti biasanya apabila kau masih bersikap tanpa santun di depan kami!” tukas Sekar Mirah. “Tentang apa Ki Sanak?” tanya Agung Sedayu sambil meraih lengan istrinya agar dapat menahan diri lebih jauh. “Apakah kau ingat tentang Ki Tumenggung Prabandaru, Agung Sedayu?” bertanya lelaki itu. Agung Sedayu menganggukkan kepala. Katanya, ”Aku mengingatnya sebagai seseorang yang tangguh dan sangat kuat.” “Apakah kau ingat pula tiga orang bajak laut yang terbunuh mengenaskan karena pengeroyokan di tanah ini?” lelaki itu bertanya lagi. “Sembarangan kau bicara, Ki Sanak!” sahut Sekar Mirah dengan wajah memerah, ”kau pasti mendengar kabar yang salah tentang kematian bajak laut itu. Mereka mati dalam perang tanding yang adil, bahkan mereka yang memulai kecurangan itu.” “Mereka berbuat curang? Bukankah itu karena lelaki disampingmu yang mengubah wujudnya menjadi tiga? Lelaki itulah yang berbuat curang dalam perang tanding, Nyi Sanak!” bentak lelaki itu sambil menuding ke arah Agung Sedayu. Wajah Agung Sedayu berkerut. Ia berkata, ”Mengubah diri adalah kewajaran dalam satu perang tanding, Ki Sanak. Karena wujud itu pun dapat menghilang.” “Kecurangan selalu diikuti oleh kebohongan, Agung Sedayu. Selamanya akan begitu. Kebohongan yang kau katakan di hadapanku akan membuahkan kebohongan baru di masa mendatang. Dengan begitu, anak cucumu hanya mendapat berita bohong yang disampaikan turun temurun,” kata lelaki itu. Agung Sedayu termenung sejenak. Kemudian ia bertanya, ”Apakah kau mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Prabandaru?” “Tidak.” Agung Sedayu melangkah turun dari pendapa kemudian bertanya lagi,” Lalu apa hubunganmu dengan bajak laut yang mungkin ingin kau bangkitkan dari kematian?” “Aku adalah sahabat mereka.” - Cerita silat sempat digandrungi pembaca buku di Indonesia. Kisah disajikan berjilid-jilid, membuat pembacanya tak sabar menunggu episode berikutnya. Beberapa penulis merajai pasar ini, salah satunya Singgih Hadi ratusan judul cerita silat ini dilahirkan di Yogyakarta pada 26 Januari 1933. Selain menjadi penulis cerita silat, Mintardja bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan, dan terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Daerah Istimewa Yogyakarta. Kisah-kisahnya digali dari pelbagai sejarah kerajaan di Jawa. Menurut Teguh Setiawan dalam artikel bertajuk “Dari Hui Rui sampai KPH” yang dimuat Republika edisi 14 November 2011, Mintardja menguasai Babad Tanah Jawi sehingga relatif tak menemui kesulitan saat menulis karya-karyanya. Sebelum Mintradja, penulis lain yakni Kho Ping Hoo telah lebih dulu melahirkan cerita silat yang berlatar cerita-cerita dari Cina. Inilah yang memotivasi Mintradja untuk menulis cerita silat dengan latar sejarah Jawa. “Booming cerita silat Tionghoa memprovokasi penulis lokal untuk menulis genre yang sama tapi dengan latar belakang Jawa. Singgih Hadi Mintardja muncul sebagai penulis cerita silat lokal yang paling fenomenal,” imbuh Teguh Setiawan. Salah satu karya Mintardja yang digandrungi, Api di Bukit Menoreh 1967, terdiri dari 400 lebih seri. Saking populernya, cerita ini sempat diangkat ke layar lebar pada 1971. “Lewat buku ini, saya ingin menegaskan bahwa tanah tumpah darah kami juga memiliki material yang bisa dijadikan bahan cerita silat […] Saya ingin menciptakan cerita saya dengan ruang imajinasi lokal,” kata Mintardja seperti dikutip Teguh Setiawan dalam artikelnya yang lain. Selain Api di Bukit Menoreh, karya lainnya yang laris di pasar adalah Nagasasra dan Sabuk Inten. Cerita ini mula-mula dimuat bersambung di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kisah ini melahirkan tokoh legendaris bernama Mahesa Jenar yang amat melekat di ingatan para pembaca. Ia dikisahkan sebagai mantan prajurit Kesultanan Demak yang mencari pusaka kerajaan, yakni keris Nagasasra dan Sabukinten. Berkat keteguhannya, ia berhasil mendapatkan kembali kedua keris itu sebagai simbol kejayaan negara. Sepi Ing Pamrih dan Menang Ora Ngasorake Sekali waktu, seperti dilaporkan Tempo edisi 18 Januari 1992, Mahesa Jenar sempat dipentaskan dalam bentuk ludruk di hadapan para tentara. Judul pentasnya “Sapta Mandala Kodam VII Diponegoro”—sekarang menjadi Kodam IV Diponegoro. Seperti perjuangan Mahesa Jenar setelah tak lagi menjadi prajurit Demak, pementasan ini menekankan pentingnya bakti kepada negara meski sudah tidak lagi menjabat. Di sisi lain, sosok Mahesa Jenar yang tanpa pamrih menyentil laku para mantan pejabat yang kerap ingin menjadi “pengusaha profesional atau politikus oplosan.” “Darma kita kepada negara tak harus dilakukan dalam status pejabat resmi. Sambil jadi orang biasa pun jalan darma tetap terbuka,” kata Widayat yang memerankan Mahesa Jenar, seperti dikutip Tempo. Namun, imbuh Tempo, kala itu dekade 1990-an, dan barangkali hingga saat ini, mengikuti laku Mahesa Jenar tidak mudah. Para mantan pejabat tak suka memilih jalan sepi ing pamrih, sebab ia akan ora keduman atau tak kebagian di tengah persaingan mengejar materi dan jabatan baru. Sikap ini dilatari ketakutan para pejabat ketika mereka menjadi mantan pejabat. Segala kekuasaan luruh, hilang dari keseharian yang telah begitu lama dinikmati. Ketakutan berdegap kala masa pensiun telah menunggu di hadapan. “[Menjadi] mantan, pendeknya, gejala menakutkan. Mungkin malah wujud ketakutan itu sendiri. Maka, kalau menjadi mantan tak lagi terhindarkan, maunya mereka mau menjadi mantan yang makmur […] Pendeknya, jangan seperti Mahesa Jenar sepi, dingin, di hutan-hutan, jauh dari bar dan credit card,” pungkas Tempo. Selain bersahaja, sikap Mahesa Jenar yang lain adalah menghindari kekerasan dalam menaklukkan lawannya, setidaknya dalam adegan saat dia mengalahkan Ki Wirasaba. “Menang ora ngasorake” kata pitutur Jawa. Seno Gumira Ajidarma dalam Kompas edisi 24 Januari 1999 mengisahkan adegan ini. Sekali waktu, saat ia berkonflik dengan Ki Wirasaba—orang yang kakinya ia obati sehingga sembuh dari kelumpuhan—Mahesa Jenar tak membunuh atau melukai lawannya. Saat kapak Ki Wirasaba mencuil batu untuk memperlihatkan kesaktiannya, Mahesa Jenar justru menghancurkan batu itu dengan ajian Sasra Birawa. Ki Wirasaba terkejut dan akhirnya menyadari kesalahan dan kelemahannya. Belum Tamat hingga Pungkas Hayat Mintardja wafat pada 18 Januari 1999, tepat hari ini 20 tahun lalu. Ia meninggal di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, setelah sebulan dirawat karena menderita penyakit ginjal dan jantung. Jenazahnya dikebumikan di permakaman Arimatea Jalan Tamansiswa, Yogyakarta. Pemakamannya, seperti dilaporkan Kompas edisi 21 Januari 1999, dihadiri mantan Dirjen Kebudayaan, Kapolda DI Yogyakarta, dan kalangan pejabat pemerintah Provinsi dan Kota Yogyakarta. Selain itu, hadir pula kalangan seniman dan sastrawan seperti Bakdi Sumanto, Sudarso Sp, Butet Kertarejasa, Bondan Nusantara, Yati Pesek, Jadug Ferianto, dan ilustrator sejumlah ceritanya yakni Herry Wibowo. Menurut putra tertuanya, Andang Suprihadi, seperti dilansir Kompas, Mintardja menderita sakit jantung koroner sejak 1989. Meski demikian ia tetap berkarya. “Bapak memang penuh semangat kalau sudah menulis. Kalau sudah khusyuk menulis tidak ada yang berani mengganggunya,” ujar Andang. Infografik Mozaik Singgih Hadi Mintardja Sepanjang hidupnya, selain menulis cerita silat, ia juga menulis cerita ketoprak, di antaranya Ampak-ampak Kaligawe, Kembang Kecubung, Kembang Tumelung, dan Prahara. Sementara cerita silat lainnya yang diangkat ke layar lebar selain Api di Bukit Menoreh adalah Tanah Warisan, yang dalam film judulnya menjadi Sisa-sisa Laskar Pajang 1972. Andang Suprihadi menambahkan, sejak pertama kali dimuat di sebuah surat kabar pada 1968, kisah Api di Bukit Menoreh belum juga selesai sampai hidup Mintardja usai. “Sudah sampai Api di Bukit Menoreh IV/59. Jadi artinya sudah 459 jilid buku. Ceritanya masih terus jalan,” katanya. Kiprah Mintardja dalam dunia menulis dianugerahi sejumlah penghargaan. Salah satunya Sang Hyang Kamahayanikan Award dari panitia Borobudur Writers and Cultural Festival tahun 2012 yang saat itu mengusung tema “Memori dan Imajinasi Nusantara Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara”. Mintardja, yang kata Seno Gumira Ajidarma adalah seorang yang sangat sederhana dan rendah hati serta tidak pernah terlibat polemik sastra yang cerewet, dinilai layak mendapat penghargaan itu. Ia merupakan generasi pertama penulis cerita silat yang mengangkat latar sejarah Nusantara. - Humaniora Penulis Irfan TeguhEditor Ivan Aulia Ahsan

cerita silat jawa mataram